Ada Apa Dengan Rebo Wekasan


Rebo Wekasan adalah sebuah istilah yang dikenal luas di sebagian masyarakat Indonesia terkhususnya di daerah pulau Jawa. Secara harfiyah rebo wekasan artinya rabu terakhir, yakini istilah yang diberikan untuk hari Rabu terakhir dari bulan Safar setiap tahunnya.

Diyakini bahwa pada hari yang dimaksud akan diturunkan banyak bala bencana ke bumi, sehingga kemudian sebagian orang mengamalkan beberapa amalan seperti shalat, dzikir dan berdoa agar dihindarkan dari bala yang sedang turun tersebut. 

Karena hal inilah kemudian umumnya ulama mengatakan bahwa meyakini hari Rabu dari akhir bulan Shafar sebagai hari yang “sial” adalah tidak memiliki dasar yang kuat dalam agama. Dan tidak ada amalan khusus yang dikerjakan di hari tersebut.

Bahkan ini dipandang sebagai salah satu keyakinan Jahiliyah karena menganggap bulan Shafar sebagai salah satu bulan yang buruk dalam setahun sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi yang diantaranya berbunyi :

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyarah (kesialan karena apa yang dilihat atau didengar), tidak ada burung yang menunjukkan kematian, dan tidak ada kesialan di bulan Shafar.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Buya Yusuf Abu Ubaidah menuliskan bahwa, 

Tidak ada keutamaan khusus dari Nabi tentang bulan ini. Al-Allamah Shiddiq Hasan Khon berkata :

“Saya tidak mendapati adanya hadits tentang keutamaan bulan Shofar atau celaan padanya”. (Al-Mauidhoh al-Hasanah hlm. 180) 

Yang beliau maksud adalah hadits yang shohih, adapun hadits yang tidak shohih maka diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Salam bersabda :

مَنْ بَشَّرَنِيْ بِخُرُوْجِ صَفَرٍ بَشَّرْتُهُ بِدُخُوْلِ الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang mengabarkan padaku dengan keluarnya bulan shofar maka saya akan memberi kabar gembira padanya untuk masuk surga. (Hadits ini adalah maudhu’ seperti ditegaskan oleh al-Iraqi). Lihat al-Fawaid al-Majmu'ah asy-Syaukani hlm. 438.

Apalagi matan hadits ini mengisyaratkan adanya “kesialan” dengan bulan shafar yang telah dibatalkan oleh Islam. Maka hadits ini adalah lemah, ditinjau dari segi sanad dan matan. Wallahu A’lam. (Bida' wa Akhtho' Tata'allaqu bill Ayyam wa Syhuhur, Ahmad as-Sulami hlm. 251-252.

Tidak ada nukilan khusus dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang amalan di bulan shofar, hanya saja ada beberapa khurafat dan keyakinan yang masih bercokol di masyarakat padahal pada dasarnya itu adalah keyakinan jahiliyyah yang telah dibatalkan oleh Islam, di antaranya :

1. Merasa Sial Dengan Bulan Shofar

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda : “Tidak ada penyakit menular dan thiyarah (merasa sial dengan burung dan sejenisnya), dan hamah (burung gagak) dan Shofar. (Hadits Riwayat Bukhari 5757 dan Muslim 2220) 

Yang menarik perhatian kita dari hadits ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam : “Dan shofar”. Sebagian ulama al-Hafizh Ibnu Rojab (Lathoiful Ma'arif hlm. 74) dan Syaikh Ibnu Utsaimin (Al-Qoulul Mufid 2/82) menguatkan bahwa maksudnya adalah bulan Shofar. 

Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (3915) dari Muhammad bin Rasyid berkata :

سَمِعْتُ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ يَسْتَشْئِمُونَ بِصَفَرٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَفَرَ

Saya pernah mendengar bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu merasa sial dengan bulan shofar maka Nabi bersabda (membatalkan keyakinan tersebut) : “Tidak ada shofar”.

 Syaikh Sulaiman bin Abdullah berkata :

“Kebanyakan orang-orang jahil merasa sial dengan bulan shofar dan kadang mereka melarang bepergian pada bulan tersebut. Tidak ragu lagi bahwa hal ini termasuk thiyaroh (merasa sial) yang dilarang dalam agama. Demikian pula merasa sial dengan suatu hari seperti hari rabu. Dahulu orang-orang jahiliyyah juga merasa sial untuk mengadakan acara pernikahan di bulan Syawal” (Taisir Aziz Hamid hlm. 380) 

2. Acara Rebo Wekasan

Rebo wekasan diambil dari bahasa jawa. Rebo artinya hari rabu dan wekasan artinya terakhir. Adapun yang dimaksud di sini adalah acara ritual yang biasa dilakukan sebagian masyarakat pada hari rabu akhir bulan shofar karena menurut persepsi mereka saat itu adalah saat petaka. Acaranya adalah sholat empat rakaat, setiap rakaat membaca surat al-Fatihah satu kali, surat al-Kautsar tujuh belas kali, surat al-ikhlas lima belas kali, surat al-Falaq dan an-Nas dua kali kemudian membaca doa bikinan mereka yang berisi kesyirikan dan kesesatan. Demikian juga mereka berkumpul-kumpul di masjid menunggu rajah-rajah bikinan kyai mereka lalu menaruhnya di gelas dan meminumnya. Tidak hanya di situ, mereka juga mengadakan perayaan makan-makan lalu berjalan di rumput-rumput dengan keyakinan agar sembuh dari segala penyakit.

Tidak ragu lagi bahwa semua itu termasuk ritual jahiliyyah yang meruyak disebabkan kejahilan terhadap agama, lemahnya tauhid, suburnya ahli bid’ah dan penyesat umat serta minimnya para penyeru tauhid. (Lihat Tahdzirul Muslimin 'anil Ibtida' fi Din, Ibnu Hajar Alu Abu Thomi, hlm. 281, Ishlahul Masajid al-Qosimi hlm. 116, al-Bida' al-Hauliyyah at-Tuwaijiri hlm. 126-132) 

Bila kita cermati dua khurofat di atas, niscaya akan kita dapati keduanya kembali pada masalah Tathoyyur yaitu merasa sial dengan burung atau lainnya yang hal ini termasuk kategori perkara jahiliyyah yang dibatalkan Islam. Perlu diketahui bahwa khurafat ini sampai sekarang masih bercokol di sebagian masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat masih meyakini bila ada burung gagak melintas di atas maka itu pertanda akan ada orang mati, bila burung hantu berbunyi pertanda ada pencuri, bila mau bepergian lalu di jalan dia menemui ular menyebrang maka pertanda kesialan sehingga perjalanan harus diurungkan.

Demikian pula ada yang merasa sial dengan bulan Dzulqo’dah (selo; jawa) dan bulan Muharram (suro: jawa), hari jum’at keliwon, ada juga yang merasa sial dengan angka seperti angka 13 dan sebagainya. (Lihat secara lebih luas masalah ini dalam risalah Ath-Tathoyyur oleh Syaikh Ibrahim al-Hamd) 

Sebaliknya, hendaknya kita bertawakkal yakni menyerahkan segala urusan sepenuhnya kepada Allah, karena salah satu hikmah di balik peniadaan Nabi terhadap khurafat-khurafat jahiliyyah dalam hadits ini adalah agar seorang muslim benar-benar bertawakkal bulat kepada Allah tanpa melirik kepada selainNya. Kalau sekiranya dia bimbang dalam melangkah, maka hendaknya dia melakukan shalat istikharah, berdoa kepada Allah dan bermusyawarah kepada orang-orang yang berpengalaman. Dengan demikian insyallah dia akan melangkah dengan penuh optimis diri. 

Wallahu'alam

Posting Komentar

0 Komentar