Mengkritik Penguasa Secara Terang-Terangan


Ada sebuah hadits yang menjelaskan bahwa salah satu jihad yang paling utama adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa yang zhalim. 

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Manshuur, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman, dari Sufyaan, dari 'Alqamah bin Martsad, dari Thaariq bin Syihaab,
"Bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan ia telah meletakkan kakinya di batang kayu yang ditancapkan di tanah; jihad apakah yang paling utama? Beliau bersabda: "Perkataan yang benar di hadapan penguasa yang zhalim." (Sunan Nasa'i no. 4209)

Muhaddits Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i As-Salafi rahimahullah berkata :

وثبت عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أنه قال: ((أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر)). والعندية لا تقتضي السرية وأن يكون مع السلطان وحده.

وأما حديث: أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال: ((من كانت لديه نصيحة لذي سلطان فلينصحه سرًّا)). فهذا الحديث أصله في "صحيح مسلم" ولم تذكر هذه الزيادة ولفظ الحديث: ((إنّ الله يعذّب الّذين يعذّبون النّاس في الدّنيا)) ولم تذكر هذه الزيادة، فلا بد من نظر في هذه الزيادة، فإذا كانت الذي رواها مماثلاً لمن لم يزدها فهي زيادة مقبولة، أو من رواها أرجح ممن لم يزدها فهي زيادة مقبولة، أما إذا كانت زيادة مرجوحة فحينئذ تعتبر شاذة، وهذه اللفظة تعتبر شاذة.

وفرق بين أن تقوم وتنكر على المنبر أعمال الحاكم المخالفة للكتاب والسنة، وبين أن تستثير الناس على الخروج عليه، فالاستثارة لا تجوز إلا أن نرى كفرًا بواحًا، 

“Terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jihad yang paling afdhal adalah mengucapkan kebenaran di sisi penguasa yang zhalim”. Dan kata “di sisi” tidak menunjukkan secara sembunyi-sembunyi hanya bersama penguasa saja (maksudnya disampaikan secara terbuka).

Sedangkan hadits yang mengatakan, “Siapa yang ingin menasehati penguasa maka hendaknya dia memberikan nasehat secara empat mata”, maka hadits ini asalnya ada dalam Shahih Muslim tanpa tambahan tersebut. Redaksi hadits tersebut yang ada dalam Shahih Muslim adalah “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia” tanpa ada tambahan di atas.

Menyikapi tambahan ini, kita perlu mengadakan penelaahan. Jika para perawi yang meriwayatkan tambahan itu semisal (kualitasnya) dengan para perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah tambahan yang bisa diterima (baca : shahih). Demikian pula, jika perawi yang membawakan tambahan itu punya nilai lebih daripada perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah juga tambahan yang diterima (baca : shahih).

Namun, jika tambahan tersebut adalah tambahan yang kurang kuat maka status tambahan tersebut adalah tambahan yang syadz (baca : lemah). Kesimpulannya, redaksi di atas adalah tambahan yang syadz (baca : dhaif, alias tidak diterima).

Patut dibedakan antara mengingkari kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah di atas podium/mimbar dengan melakukan agitasi agar rakyat memberontak terhadap pemerintah. Agitasi untuk memberontak itu tidak diperbolehkan kecuali jika kita melihat pemerintah memiliki kekufuran yang nyata”. (Tuhfatul-Mujib hal. 164)

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah :

أما المنكرات الشائعة فأنكرها، لكن كلامنا على الإنكار على الحاكم مثل أن يقوم الإنسان في المسجد ويقول مثلا: الدولةظلمت، الدولة فعلت، فيتكلم في الحكام بهذه الصورة العلنية، مع أن الذي يتكلم عليهم غير موجودين في المجلس.

وهناك فرق بين أن يكون الأمير أوالحاكم الذي تريد أن تتكلم عليه بين يديك وبين أن يكون غائبا،لأن جميع الإنكارات الواردة عن السلف كانت حاصلة بين يدي الأمير أو الحاكم، الفرق أنهإ اذا كان حاضرا أمكنه أن يدافع عن نفسه، ويبين وجهة نظره، وقد يكون مصيبا ونحن المخطئون ،لكن إذا كان غائبا لم يستطع أن يدافع عن نفسه وهذا من الظلم، فالواجب أن لا يتكلم على أحد من ولاة الأمور في غيبته، فإذا كنت حريصا على الخير فاذهب إليه وقابله وانصحه بينك وبينه

“Ingkarul mungkar terhadap kemungkaran yang terjadi di masyarakat itu wajib dilakukan. Adapun pendapat kami mengenai mengingkari penguasa, semisal seseorang di dalam masjid (berceramah) mengatakan: “pemerintah ini zhalim”, atau berbicara tentang pemerintah dengan cara demikian secara terang-terangan (ini tidak diperbolehkan). Dalam keadaan bahwa para pejabat pemerintah yang ia bicarakan tidak ada di hadapannya dalam majelis tersebut.

Tentunya ada perbedaan antara keadaan anda berada di hadapan amir (pemimpin) atau hakim yang ingin anda ingkari, dengan keadaan anda tidak berada di hadapannya. Karena ingkarul mungkar yang dilakukan para salaf itu terjadi di hadapan amir atau hakim langsung.

Perbedaannya yaitu, jika amir atau hakim tersebut berada di depannya, ketika diingkari ia bisa memberikan pembelaan, ia juga bisa memberikan penjelasan dan sisi pandang yang lain. Dan terkadang memang mereka yang benar, yang salah adalah kita. Adapun jika mereka tidak ada di hadapan kita, mereka tidak bisa membela diri mereka, dan ini adalah sebuah kezhaliman.

Maka wajib kita untuk tidak mengatakan tentang keburukan penguasa ketika bukan di hadapannya. Jika seseorang bersemangat untuk melakukan kebaikan, maka pergilah ke hadapan penguasa, bertatap muka dengannya, nasehati ia secara langsung.” (Liqa'at Al-Bab Al-Maftuh, rekaman no. 62)

Syaikh Al 'Allamah Abdullah Al Qu’ud rahimahullah (salah seorang anggota Lajnah Daimah) ditanya :

 ما هو منهج أهل السنة في نصح الحاكم ؟ هل هو الإعلان بإنكار المنكر أو الإسرار به ؟

“Bagaimanakah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menasihati pemimpin?” Apakah mengingkari mereka dengan cara terang-terangan atau tertutup?”

Beliau rahimahullah menjawab :

على كل حال أنا أرى أن الأمر فيه تفصيل :
أولاً المناصحة من حيث المبدأ جزء من الاعتقاد ، أخذت البيعة بها (وأن تناصحوا من ولاَّه الله أمركم) ، المناصحة جزء من عقيدة المسلم ، أخذت البيعة بها بأن يناصح من ولاه الله أمره ولا سيما إن كان ذا وجاهة أو ذا علم أو ذا مكانة ، هذا من حيث المبدأ .

بقي أسلوب المناصحة ، أسلوب المناصحة : أنا أرى أن الأمر يـختلف باختلاف الأحوال ، يـختلف باختلاف وضع الحاكم وتسلطه ، ويـختلف باختلاف قوة الناصح ومكانته ومواجهته وتـحصنه من الحاكم ، ويختلف باختلاف الأمر الذي سينصح به ، فأنا أرى إن كان هذا الأمر الذي سيُنصح به أمر ظاهر ومعلَن وواضح ، فالمنكر المعلن الواضح الظاهر أرى أنه لا حرج في أن يناصَح الحاكم من مواجهة أو من عمود صحيفة أو من منبر أو بأي أسلوب من الأساليب إذا كان المنكر واضح وواقع في الناس وعلني ، فالقاعدة السليمة أن ما ينكر إذا كان علناً عولج ونُصِح به علناً . أما إذا كان المنكر لم يظهر ، ولم يُعلَم للناس ولا يزال في مثل هذه الأمور ، خفي ، فهنا لا ، المفروض أن تكون المناصحة به سراً .

فأنا لست مع من يقول انصحوا سراً أو فرادى ، ولا مع من يقول لا ، نفسه انصحوا علناً ، وجماعة ، فالكل مطلوب لكن باختلاف الأحوال 
المرجع : شريط ( وصايا للدعاة – الجزء الثاني) للشيخ عبد الله بن حسن القعود

"Bagaimana pun juga masalah ini menurutku perlu diperinci :

Pertama : Memberikan nasihat di sisi konsepsi merupakan bagian dari aqidah. Di antara isi dari bai’at adalah (memberikan nasihat kepada orang yang Allah kuasakan kepadanya urusan kalian).  
Maka, nasihat adalah salah satu bagian dari aqidah muslim. Dimana bai’at pun juga terikat dengannya, yaitu memberikan nasihat kepada orang yang Allah berikan kuasa untuk mengurus urusan kalian. Apalagi bagi mereka yang memiliki kedudukan, ilmu, dan posisi. Ini dari sisi konsep dasarnya. 

Ada pun dari sisi metode menasihati, menurutku ada perbedaan metode tergantung perbedaan situasi, baik perbedaan keadaan pemimpin dan jenis kekuasaannya, perbedaan kekuatan si pemberi nasihat dan kedudukannya, posisinya, dan daya tahannya terhadap pemimpin, juga tergantung perbedaan permasalahan yang membuatnya mesti memberikan nasihat kepadanya. 

Aku berpendapat, jika permasalahannya adalah masalah yang memang nampak, terang, dan jelas, lalu dilakukan pengingkaran secara terang-terangan dan jelas pula, maka hal itu menurutku tidak apa-apa menasihati pemimpin baik secara langsung berhadapan, atau di media massa, atau di atas mimbar, atau cara apa pun, jika memang kemungkarannya jelas terjadi di tengah-tengah manusia dan terangan-terangan. 

Maka, kaidah yang benar adalah kemungkaran yang terang-terangan maka nasihati dan berikan solusi secara terang-terangan. Ada pun kemungkaran yang tersembunyi dan tidak beredar di tengah-tengah manusia, dan tetap tersembunyi, maka wajib menasihatinya secara diam-diam. 

Aku bukanlah orang yang bersama pihak yang mengatakan nasihat hanya diam-diam saja atau sendiri-sendiri, dan tidak pula bersama yang mengatakan “tidak”, yang hanya memberikan jalan keluar dengan nasihat secara terbuka dan beramai-ramai. Tetapi, semua ini cara yang diperintahkan, sesuai kondisinya masing-masing yang berbeda." (Kaset : Washaya Lid Du’ah, juz 2)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata : 

“Maka apabila kita memprediksi sesungguhnya pengingkaran secara terbuka akan menghilangkan kemungkaran dan kejelekan serta akan terealisasi kebaikan, maka kita ingkari secara terbuka. Tapi bila kita memprediksi pengingkaran secara terbuka tidak akan menghilangkan kejelekan dan tidak akan merealisasikan kebaikan, bahkan akan menyebabkan sebagian penguasa semakin mengingkari orang-orang yang baik, maka lebih baik kita ingkari secara sembunyi-sembunyi. Dengan demikian, akan bisa dikompromikan seluruh dalil-dalil yang ada dalam masalah ini.

Dalil-dalil yang menunjukkan pengingkaran secara terbuka, adalah apabila kita menghendaki kemaslahatan di dalamnya, yaitu terealisasinya kebaikan dan hilangnya kejelekan. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan bahwa pengingkaran itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, adalah apabila pengingkaran secara terbuka akan memperparah kejelekan dan tidak akan merealisasikan kebaikan.

Saya tegaskan : Tidaklah sesat dari umat ini dari orang-orang yang sesat, kecuali disebabkan mereka mengambil satu sisi dari suatu dalil dan meninggalkan sisi yang lain, baik dalam masalah aqidah, muamalah dengan pemerintah, atau muamalah dengan manusia, ataupun selain itu.“ (Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh, 3/354)

Wallahu'alam

Posting Komentar

0 Komentar