Bungo Lado, Tradisi Urang Piaman Menyambut Maulid Nabi


Mayoritas umat islam di Indonesia masih beranggapan bahwa tanggal 12 Rabiul Awal adalah hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal para ulama masih berselisih pendapat kapan kepastian tanggal Rasululah dilahirkan. Namun jumhur ulama ada juga yang beranggapan bahwa tanggal tersebut adalah tanggal kematian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wallahu’alam.

Karna sudah jadi kebiasaan menjadikan tanggal 12 Rabiul Awal adalah hari kelahiran nabi atau Maulid Nabi, beberapa umat Islam merayakannya sesuai dengan tradisi atau budaya daerah setempat, tak terkecuali di Ranah Minang, tepatnya di Kabupaten Pariaman. Warga disana memiliki tradisi yang dikenal dengan sebutan Tradisi Bungo Lado.

1. Sisi Tradisi

Salah satu kebiasaan unik masyarakat Padang Pariaman ketika merayakan Maulid Nabi adalah menggelar Tradisi Bungo Lado. 

Secara etimologi, Bungo Lado berasal dari bahasa Minang. Bungo artinya bunga, lado artinya lada atau cabai. Secara denotasi bermakna bunga cabai. Namun konotasi Bungo Lado berarti ‘Pohon Uang’, yaitu berupa pohon hias berdaunkan uang. Uang tersebut dipasangkan pada ranting layaknya daun berasal dari sumbangan masyarakat (infak) dengan nominal Rp 1.000 – 100.000. tradisi ini mereka lakukan berkaitan dengan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala Surat Al-Baqarah Ayat 148.

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِ ۗ 

“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.”

Menurut Andri Maijar, ada beberapa kegiatan yang dilakukan masyarakat Padang Pariaman dalam pelaksanaan prosesi Tradisi Bungo Lado

1. Pengumpulan Uang

Pengumpulan uang dikepalai oleh kapalo mudo (pemimpin dari pemuda setempat) beberapa hari sebelum kegiatan kerohanian. Biasanya sumbangan masyarakat dikumpulkan di warung, pos ronda dan tempat yang dilalui masyarakat korong.

2. Mandekor (Dekorasi)

Dekorasi ranting pohon dipimpin oleh kapalo mudo setiap korong setelah seluruh sumbangan masyarakat terkumpul. Semakin banyak sumbangan maka semakin besar pohon bungo lado yang akan dipajang di masjid tempat kegiatan kerohanian.

3. Maarak Bungo Lado

Setelah bungo lado selesai dibuat, selanjutnya kapalo mudo bersama masyarakat korong melakukan arak-arakan ke sekeliling kampung lalu meletakkannya di masjid. Tak hanya bungo lado tetapi juga diiringi jamba yang telah dimasak ibu-ibu di jorong.

2. Sisi Syariat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh) dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syeitan adalah musuh besar bagi kalian.” (Surah Al-Baqarah : 208)

Tidak sedikit tradisi (adat-istiadat) yang mayoritas dianut oleh muslim di Indonesia sangat jauh dari nilai-nilai murni dan shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kita sangat mudah menyaksikan, melihat, mengamati, mendengar, merasakan bahkan turut terlibat dalam ritual tradisi yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga hari ini.

1. Tidak pernah diajarkan

Islam hanya mengenal hari raya mereka yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Dari kedua hari raya tersebut, semua diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadist beliau. Dimana Hari Raya Idul Fitri, kita dilarang untuk berpuasa dan dianjurkan untuk keluar menunaikan shalat ied di lapangan. Begitu pula Idul Adha, Rasulullah juga mengabarkan.

Namun tradisi-tradisi yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, dari satu daerah ke daerah yang begitu berbeda-beda dalam menyambut Hari Maulid Nabi, termasuk diantaranya Tradisi Bungo Lado. Ini membuktikan tidak adanya contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau seminimal-minimalnya dicontohkan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ 

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (Surah Al-Baqarah : 170)

Dalam Surah yang lain,
 
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ 

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Surah Al-Maidah : 104)

2. Tasyabbuh

Tradisi Bungo Lado yang merangkai pohon dengan uang, tak ubahnya seperti tradisinya Umat Nashara dalam Hari Raya Natal mereka, dimana mereka menjadikan Pohon Cemara Perak (dalam bentuk miniatur) sebagai Pohon Natal lalu dihias dengan berbagai ornamen.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (Hadits Riwayat Tirmidzi)

Al-'Allamah Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata :

بعض الناس إذا قلت: هذا تشبه بالكفار، يقول: أنا لم أقصد التشبه! فنقول: التشبه حاصل ((( سواء قصدت أو لم تقصد ))) ما دام المشابهة حصلت فلا فرق بين أن ينوي المشابهة أو لا ينويها "اهـ.

"Ada sebagian orang yang apabila engkau katakan kepadanya: "hal itu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafr", diapun menjawab, "aku tidak bermaksud untuk tasyabbuh!", maka kita katakan, otomatis sudah terjadi tasyabbuh, sama saja apakah kamu memaksudkannya ataupun tidak, selama terjadi penyerupaan maka tidak ada bedanya, apakah kamu bermaksud tasyabbuh ataupun tidak memaksudkannya." (At-Ta'liq 'Alal Iqtidhai, hal: 308) 

Wallahu'alam

Posting Komentar

0 Komentar